KCI - JAKARTA:
Sejak kelahiran UU Jaminan Produk Halal (JPH) masyarakat telah lama menantikan
peran dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang dibentuk
tanggal 17 Oktober 2017. Karena espektasi dan harapan masyarakat cukup tinggi
agar Lembaga yang akan mengurusi Produk Halal tersebut dapat berfungsi
sebagai regulator dan administratif.
---------------------------------------------------------------------------
Berita Anda ingin dimuat di Kicita atau Media Nasional dan Daerah di Indonesia? Silakan hubungi kami di 087783358784 atau e-mail: aagwaa@yahoo.com. Kami memiliki jaringan kuat dengan media terakreditasi baik cetak, online, radio maupun televisi. ***
"BPJPH
juga diharapkan mampu mendorong pertumbuhan industri halal di tanah air,
disamping sebagai badan yang dapat memberikan kemudahan bagi usaha mikro, kecil
dan menengah," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Dr
Ikhsan Abdullah, SH, MH di Jakarta, Sabtu (25/7/2020).
Ikhsan
memaparkan, tidak heran IHW kerap melakukan seminar, edukasi, advokasi, focus
group discussion (FGD) dan kegiatan workshop guna menyuarakan pentingnya BPJPH
yang bermanfaat bagi umat. Namun kini memasuki 3 tahun BPJPH yang dipimpin
Prof. Ir. Sukoso tidak terdengar apa laku dan perannya bagi masyarakat, dunia
usaha dan industri.
Apalagi
sejak lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 dan regulasi lainnya
yaitu Peraturan Menteri Agama Nomor 26 Tahun 2019, BPJPH semakin tidak jelas
perannya. Sertifikasi halal bukan menjadi sederhana dan murah, tetapi dirasakan
oleh dunia usaha malah semakin sulit diperoleh dan tidak adanya kepastian
berapa tarif dari sertifikasi halal.
"Ironisnya,
masyarakatpun dipimpong ketika akan mendaftarkan atau melakukan registrasi
halal," jelasnya.
Ikhsan
menuturkan, fakta tersebut ditandai ketika pada tanggal 17 Oktober 2019, ketika
mandatory sertifikasi halal jatuh tempo, BPJPH sama sekali tidak mampu melayani
masyarakat menerima pendaftaran dan proses-proses selanjutnya. Bahkan,
registrasi yang sudah berpuluh tahun dilakukan dengan system daring atau online
melalui system CEROL, itu harus dilakukan dengan cara manual yakni dengan
datang ke kantor BPJPH, mengisi registrasi dan berpusat di Kantor BPJPH -
Kementerian Agama, Jakarta.
"Keadaan
ini masih ditambah lagi dengan tidak adanya kepastian bagi UKM, dimana mereka
harus melakukan registrasi, karena form yang tersedia di BPJPH hanya untuk
produk dari perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas," urainya.
Sementara
UKM, sambung Ikhsan, harus ke Kantor Wilayah Kementerian Agama di Provinsinya
masing-masing. Beban dan bingung masyarakat bertambah lengkap ketika pelaku
usaha UKM melakukan registrasi ke Kantor Wilayah Kementerian Agama di Provinsi,
petugasnya pun tidak ada dan petugasnya tidak paham mengenai sertifikasi halal.
"Inilah
babak belur sertifikasi halal di Indonesia, yang 30 tahun mampu dikelola dengan
system yang sangat baik dan dapat dilakukan pendaftaran melalui online, harus
kembali lagi dengan system 30 tahun kebelakang dan tidak memberikan kepastian
apapun. Padahal prinsip-prinsip halal harus mengacu kepada Maqashid Syariah
yaitu prinsip perlindungan, keadilan, akuntabilitas dan transparansi,"
tandasnya.
Sementara,
lanjut Ikhsan, permintaan konsumen dan industri pada produk halal harus
berjalan. Beruntung, Kementerian Agama cepat merespon stagnasi tersebut dengan
mengeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 982 tanggal 12 November 2019 tentang
Layanan Sertifikasi Halal, yang intinya MUI melalui LPPOM MUI diberikan kewenangan
kembali untuk melakukan registrasi dan proses sertifikasi halal. Keadaan ini
sedikit menentramkan masyarakat terutama pelaku usaha dan industri.
Padahal
sebagai suatu badan yang dibiayai anggaran negara (APBN), BPJPH harusnya BPJPH
yang dibawah kontrol Prof. Sukoso tidak mengganti system registrasi yang sudah
baik selama ini, seperti mengganti dengan SiHalal. Selain itu BPJPH harusnya
melakukan training-training auditor halal yang menurut sumber BPJPH sekarang
ini sudah berjumlah 226 auditor halal. Ternyata yang dihasilkan bukanlah
auditor halal tetapi calon auditor halal.
Mengapa
calon auditor halal? Karena untuk menjadi seorang auditor halal, maka dia harus
mengikuti pendidikan dan pelatihan yang mendapatkan sertifikasi halal dari MUI.
Oleh karena BPJPH selama ini tidak pernah mau melakukan kerjasama dengan MUI,
sebagaimana yang di amanatkan oleh Undang-Undang dengan fungsi dan
kewenangannya masing-masing, maka anggaran negara yang dipergunakan untuk
melakukan training-training auditor halal, hasilnya merupakan calon auditor.
Karena MUI tidak pernah dilibatkan dalam training auditor yang diselenggarakan
oleh BPJPH.
"Prof.
Sukoso sebagai nahkoda BPJPH selalu sibuk dengan kegiatan di luar negeri
seperti ke Malaysia, Taiwan, Korea untuk melakukan kampanye kepada
negara-negara Asia Pasifik dan lembaga sertifikasi halal luar negeri, seakan
ingin mendapatkan pengakuan dan menyatakan diberbagai kesempatan forum
internasional bahwa BPJPH telah mengambil alih sertifikasi halal dari MUI
sebagaimana yang ramai dalam pemberitaan dan jurnal halal internasional,"
paparnya.
Ikhsan
menilai, padahal apa yang dilakukannya justru terbalik dan menimbulkan
kebingungan lembaga sertifikasi halal luar negeri dan di negara-negara yang
berbasis penduduk Islam, karena justru selama ini negara-negara Kawasan
tersebut tunduk dan mengikuti bahkan ingin mendapatkan pengakuan (recognize)
dari lembaga sertifikasi halal di Indonesia yang dilakukan oleh LPPOM MUI,
bukan sebaliknya.
Diberbagai
kesempatan, BPJPH menyatakan bahwa ingin agar halal Indonesia mengikuti
standard halal Internasional, padahal justru upaya yang terbalik dan
terbelakang, karena kenyataannya 24 negara dan 46 lembaga sertifikasi halal
luar negeri selalu meminta akreditasi dan recognize dari MUI. Artinya bahwa MUI
menjadi rujukan utama dalam hal standard halal.
Kontoversi
lainnya yang dilakukan BPJPH adalah melakukan MoU yang di ekspose dengan 76
calon LPH perguruan tinggi di Indonesia. Padahal untuk pembentukan LPH
sebagaimana diamanatkan Pasal 10 ayat 1 UU JPH, maka BPJPH wajib hukumnya
melakukan Kerjasama dengan MUI untuk melakukan akreditasi LPH. Oleh karenanya
perintah undang-undang yang wajib dijalankan itu ditinggal dan yang tidak wajib
didahulukan oleh BPJPH.
Harusnya
BPJPH wajib membangun kerjasama dengan MUI, mencetak auditor halal, menyiapkan
system registrasi online, menyiapkan LPH,
menyiapkan
sumber daya manusia yang kuat dan menyiapkan kantor perwakilan di daerah.
Karena tidak focus dan tidak memiliki road maka terjadilah kini BPJPH hanya
sebagai lembaga yang tidak perannya. Karena BPJPH hanya membebani anggaran
negara.
"Maka
sesuai dengan kebijakan Presiden Jokowi dan Ma’ruf Amin, lembaga yang tidak
berfungsi dan memberikan manfaat dan membebani anggaran negara, lebih baik
dibubarkan. Atau untuk percepatan pertumbuhan industri halal maka kalau BPJPH
harus dipertahankan karena amanat UU JPH, maka harus dinahkodai oleh orang yang
berpengalaman atau menempatkan orang-orang yang selama ini memimpin lembaga
sertifikasi halal untuk menjadi nahkoda BPJPH," pungkasnya.
Hingga
berita ini ditulis masih menunggu konfirmasi dari Kepala BPJPH Prof Sukoso. ***
---------------------------------------------------------------------------
Berita Anda ingin dimuat di Kicita atau Media Nasional dan Daerah di Indonesia? Silakan hubungi kami di 087783358784 atau e-mail: aagwaa@yahoo.com. Kami memiliki jaringan kuat dengan media terakreditasi baik cetak, online, radio maupun televisi. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuangkan ide, saran, masukan, kritik Anda di sini untuk membangun Indonesia yang jaya dan sejahtera. Bebas dan demokratis. Tapi jangan spam dong... Terimakasih