* PRESIDENTIAL * Sumber Asli -- PEKERJAAN rumah yang diwariskan bagi presiden baru tidak terbilang sedikit. Perlu bahasa sederhana apa yang dilakukan pemerintahan mendatang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Benar kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, bahwa calon presiden haruslah jelas visinya ke depan, mau dibawa ke mana Indonesia di tengah persaingan global ini. Bagaimana Indonesia harus bersaing ke luar, maupun harus bertahan di dalam, tentunya harus dijelaskan, agar dapat dipahami calon pemilih, sehingga para pemilih tidak hanya mengandalkan pertimbangan emosional, tetapi juga rasional.
Harapan Presiden SBY ini tentu juga menjadi harapan banyak kalangan saat ini, bahkan rakyat jelata sekalipun di tingkat grass root atau akar rumput. Hanya bahasanya, barangkali, yang berbeda. Kalau di tingkat elite, mereka menuntut kejelasan "visi dan misi", maka di tingkat akar rumput yang mereka tahu, bagaimana hidup mereka ke depan, kelak, lebih sejahtera.
Inilah perbedaannya. Bagi kalangan elite, mungkin yang ingin didengarkan adalah visi ke depan membangun Indonesia, berdasarkan perubahan geopolitik regional dan global, kemajuan kelas menengah, iklim investasi yang ramah terhadap investor, dan lain sebagainya.
Indonesia akan unggul, jika mental bangsa ini tidak lagi seperti inlander yang terjajah, mampu berfikir mandiri, berani berubah, namun tetap andhap asor dan menang tanpo ngasorake alias rendah hati dan menang tanpa perlu mempermalukan yang dikalahkan.
Kalangan elite ini tentu melihat dari perspektif elitisme mereka. Sekadar contoh, dalam melihat ketidaksiapan Indonesia saat ini memasuki pasar tunggal Asean atau Asean Economic Community (MEA), yang akan mulai tahun 2015.
Sekadar satu contoh, bagaimana Indonesia melakukan identifikasi keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif agar punya 'peluru' dalam bersaing di MEA. Singapura, misalnya, merasa sangat kuat di sektor jasa, Malaysia unggul di perkebunan meski kebunnya di Indonesia, selain juga unggul di sektor teknologi informasi. Thailand unggul di sektor manufacturing termasuk otomotif dan agroindustri, Filipina di jasa terutama tenaga kerja. Lantas apa keunggulan Indonesia?
Maka, perlu kejelasan, bagaimana calon presiden akan menghadapi situasi yang baru tersebut, langsung di tahun pertama ia berkuasa. Ini tentu bukan perkara mudah, karena pekerjaan rumah lainnya yang diwariskan juga tidak terbilang sedikit.
Sebutlah dalam berebut kue investasi global, baik portofolio maupun direct investment. Lalu dalam ragam yang lain, meski kedengaran klasik, bagaimana merealisasikan rencana pembangunan infrastruktur, yang dalam 10 tahun terakhir tidak terlihat kemajuan berarti. Ada tambahan infrastruktur, tetapi masih jauh dari yang dibutuhkan dan diharapkan.
Dan tidak kalah kerap disebutkan, bagaimana kelanjutan reformasi birokrasi, yang sangat diperlukan untuk menjamin agar penyelenggaraan negara bersih dari korupsi, efisien, dan punya karakteristik melayani, bukan menghambur-hamburkan uang negara dan tidak peduli dengan rakyat yang seharusnya dilayani.
Tidak hanya itu, reformasi birokrasi juga diperlukan berkaitan dengan strategi diplomasi politik luar negeri. China, Singapura, Malaysia menjadikan ujung tombak diplomasi untuk memaksimalkan manfaat ekonomi dari posisi geostrategis di kawasan.
Bagaimana strategi diplomasi baru Indonesia untuk memanfaatkan posisi geostrategis kita. Apakah sekadar puas dengan keunggulan sebagai negara demokratis, kelas menengah yang besar, piramida penduduk dengan usia produktif, serta stabilitas politik yang relatif lebih baik; tetapi hanya sekadar menjadi pasar?
Itulah sebagian perspektif elitis yang perlu mendapatkan jawaban, manakala kita menghendaki kejelasan visi dan misi pemimpin Indonesia ke depan. Dan tampaknya, Presiden SBY pun perlu membantu memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, guna mewariskan masa depan yang lebih baik.
Namun itu saja tidak cukup. Elitisme tersebut tidak serta merta menjadi harapan rakyat di tingkat grass root, atau lebih tepatnya kalangan akar rumput tidak peduli dengan perspektif elitis, manakala perut mereka masih tetap lapar, akses dan biaya pendidikan tidak terjangkau, apalagi akses kesehatan mahal.
Maka, perlu pula bahasa sederhana, apa sesungguhnya yang akan dilakukan pemerintahan mendatang dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang berada di akar rumput. Bagaimana mereka dapat menikmati pendidikan yang lebih baik, tubuh yang lebih sehat, guna membangun mental dan cara berfikir yang positif.
Harian ini melihat, justru pada poin terakhir inilah yang terpenting, untuk mengejar ketertinggalan Indonesia dalam segala aspek kehidupan dan persaingan internasional. Indonesia akan unggul, jika mental bangsa ini tidak lagi seperti inlander yang terjajah, mampu berfikir mandiri, berani berubah, namun tetap andhap asor dan menang tanpo ngasorake alias rendah hati dan menang tanpa perlu mempermalukan yang dikalahkan.
-
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuangkan ide, saran, masukan, kritik Anda di sini untuk membangun Indonesia yang jaya dan sejahtera. Bebas dan demokratis. Tapi jangan spam dong... Terimakasih