-JAKARTA — Keputusan pemerintah yang terus meminta pinjaman dana kepada pihak asing merupakan praktik yang mengarah pada neoliberalisme. Praktik tersebut akan terus terjadi sampai pemerintahan berikutnya.
"Transaksi utang luar negeri digunakan negara-negara kapitalis untuk mendesak agenda-agenda liberalisasi," ucap Yuyun dari Koalisi Anti Utang saat diskusi di Jakarta, Kamis (18/6).
Yuyun mengatakan, masalah utang di Indonesia sudah terjadi sejak awal merdeka ketika Belanda mewariskan utang kepada pemerintah saat itu. "Salah satu syarat untuk merdeka adalah mengambil alih utang-utang mereka," ucapnya.
Menurut Yuyun, tabiat berutang sudah berlangsung lama, dan saat ini pemerintah tidak ada inisiatif untuk meninggalkan model pembangunan dengan berutang. Akibatnya, saat ini 20 persen dari APBN tersedot untuk pembayaran utang luar negeri. "Pemerintah kesulitan mengalokasikan dana untuk kesejahteraan rakyat," tegasnya.
Saat ini, papar Yuyun, jumlah utang Indonesia berada di urutan keempat tertinggi di negara-negara berkembang, serta urutan teratas di Asia. "Untuk melunasi utang negara, tiap orang harus menanggung Rp 7,7 juta," ucapnya.
Selain praktik berutang, lanjutnya, agenda neolib dapat dilihat dari UU Penanaman Modal Nomor 25 Tahun 2007 yang merupakan penjajahan model baru.
Solusinya, kata Yuyun, pemerintah mendatang harus mempunyai agenda penghentian utang-utang baru. Selain itu, harus dilakukan upaya negosiasi untuk penghapusan utang serta efisiensi anggaran sehingga dapat digunakan untuk kepentingan rakyat.
"Dari tiga pasangan capres dan cawapres, tidak ada platform yang mengarah ke sana," lontarnya. (sihc/skoc) ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuangkan ide, saran, masukan, kritik Anda di sini untuk membangun Indonesia yang jaya dan sejahtera. Bebas dan demokratis. Tapi jangan spam dong... Terimakasih