-SURABAYA - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof. Ris. Ikrar Nusa Bhakti, PhD, mengaku kecewa dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang dinilai kurang memperhatikan para peneliti.
"Semua capres sudah pernah datang ke LIPI, tapi SBY hanya berjanji dan kami ingat dengan apa yang kami sebut dengan Janji Sukamandi, ternyata sampai sekarang hanya janji," katanya saat berbicara dalam seminar kebangsaan di Surabaya, Rabu.
Di hadapan ratusan peserta Seminar Kebangsaan XIII yang diadakan BAMAG (Badan Musyawarah Antar-Gereja) Jatim, guru besar UI itu mengatakan janji yang dimaksud adalah janji memberi tunjangan untuk peneliti.
"Janji itu sempat diulangi dalam peringatan Hari Teknologi pada 2008 tentang renumerasi peneliti, tapi janji itu sampai sekarang belum dipenuhi. Itu berbeda dengan Megawati yang saat menjadi presiden membantu dana dan menambah jumlah peneliti yang menjadi PNS," katanya.
Sementara itu, Jusuf Kalla berjanji untuk memperhatikan peneliti, tapi dia berjanji akan mewujudkan janji itu bila dirinya menjadi presiden. "Ya, nggak apa-apa, dia sudah berterus terang," katanya.
Menurut guru besar Ilmu Politik UI itu, rekam jejak seorang pemimpin itu merupakan hal itu penting bagi masyarakat pemilih untuk menentukan pilihan dalam pemilu presiden (Pilpres) pada tanggal 8 Juli 2009.
"Jadi, pilihan itu jangan hanya ditentukan sosok, karena hal itu dapat menipu. Yang juga penting diperhatikan dalam menentukan pilihan adalah platform, ideologi koalisi yang dibangun," katanya.
Dalam kesempatan itu, Ikrar Nusa Bhakti menyebutkan beberapa asumsi bila Pilpres 2009 dimenangkan pasangan nomer 1, 2, atau nomer 3.
"Bila nomer 1 yang menang, maka ekonomi kerakyatan akan mencuat, kembali ke UUD 1945 yang dilengkapi catatan amandemen akan menjadi usulan kembali, dan pluralisme berkembang," katanya.
Bila pasangan nomer 2 yang menang, katanya, koalisi akan bersifat pelangi dan "check and balance" akan sulit berkembang, karena model presidensiil lebih menguat.
"Bila nomer 3 yang menang, maka pemerintahan menjadi progresif tapi akan berbahaya bila tidak bijaksana. Selain itu, pluralisme akan berkembang, karena baru kali ini ada presiden yang bukan Jawa," katanya.
Ia menambahkan, asumsi itu bisa berubah karena dunia politik itu memiliki ketidakpastian dan berbagai kemungkinan yang dapat terjadi sesuai dengan situasi saat itu. (sihc/saci) ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuangkan ide, saran, masukan, kritik Anda di sini untuk membangun Indonesia yang jaya dan sejahtera. Bebas dan demokratis. Tapi jangan spam dong... Terimakasih