-JAKARTA - Sejumlah kalangan mengaku kecewa dengan isi pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam upacara peringatan hari ulang tahun TNI ke-63 Selasa (14/10) lalu di Markas Komando Armada Timur TNI Angkatan Laut, Surabaya, Jawa Timur. Mereka menilai isi pidato tidak mencerminkan kepedulian apalagi mendorong kelanjutan penuntasan agenda dan proses reformasi internal institusi TNI.
Seperti diwartakan, Presiden Yudhoyono, terkait isu reformasi TNI, hanya meminta hal itu bisa terus dilanjutkan
Penilaian dan kekecewaan tersebut disampaikan sejumlah peneliti, anggota legislatif, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang Kompas hubungi, Rabu (15/10), secara terpisah. "Seharusnya Presiden Yudhoyono bisa rinci mengingatkan pentingnya penuntasan sejumlah agenda reformasi internal TNI misalnya pengambil alihan bisnis TNI atau revisi aturan peradilan militer," ujar Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Golkar Yuddy Chrisnandi.
Yuddy menyayangkan, isu-isu seperti itu luput disinggung. Dia menilai, ada kemungkinan sebagai orang berlatar belakang militer, Presiden Yudhoyono ewuh pakewuh (enggan) mengkritik secara substansial lantaran tidak mau konfrontatif dengan TNI.
Sementara itu Anggota Komisi I dari Fraksi PDIP, Andreas Pareira, menilai Presiden Yudhoyono tidak cukup berani mengungkap problem dan tantangan riil, yang seharusnya dihadapi pemerintah terkait upaya penuntasan reformasi internal TNI tadi atau bahkan reformasi sektor keamanan secara umum.
"Presiden tidak cukup berani karena jika hal itu dilakukan, sama artinya Presiden mengungkap banyak kegagalan pemerintahannya selama ini. Kegagalan terjadi karena sejak awal pemerintah tidak pernah tegas menuntaskan masalah reformasi TNI tadi," ujar Andreas.
Pidato yang sekadar mengungkap wacana atau hal yang sangat umum tadi dinilai Andreas sebagai upaya Presiden Yudhoyono berkelit. Hal itu semakin terlihat ketika Presiden malah menyinggung urusan konflik abad ke-21, yang terkesan mengawang-awang dan tidak riil.
Buka kotak pandora
Dalam kesempatan terpisah, peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bhakti mengaku tidak kaget dengan isi pidato itu. Dia menilai wajar Presiden Yudhoyono terkesan menghindari penyebutan isu-isu spesifik reformasi internal TNI. Isu-isu macam penuntasan peradilan militer atau pengambil alihan bisnis TNI memang tidak masuk concern Presiden Yudhoyono.
Karena jika disinggung, kedua hal itu hanya akan mempersulit dirinya. "Padahal situasi sekarang sudah cukup sulit akibat minimnya kemampuan anggaran negara di bidang pertahanan," ujar Ikrar.
Menurut Ikrar, minimnya kemampuan anggaran negara untuk militer pada praktiknya berdampak mengharuskan TNI memiliki semacam kesabaran strategis. Artinya TNI diminta selalu sabar dan tidak usah menuntut, misalnya, pemenuhan standar persenjataan yang canggih untuk memperkuat TNI.
Tidak cuma itu, penuntasan agenda pengambil alihan bisnis TNI dan revisi peradilan militer dinilai Ikrar bukan tidak mungkin malah hanya akan membuka Kotak Pandora . Seluruh praktik penyimpangan yang terjadi dan dilakukan militer, termasuk oleh para petingginya, bakal menjadi sangat terbuka.
Bahkan, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi sekali pun dapat dengan mudah masuk dan menangani kasus-kasus korupsi yang selama ini terjadi di dalam tubuh TNI. "Jadi tidak sekadar kasus-kasus pelanggaran HAM. Hal seperti itu dimungkinkan karena revisi aturan Peradilan Militer memungkinkan TNI diadili di peradilan umum," ujar Ikrar.
Selama ini menurut Ikrar, penuntasan kasus-kasus hukum, baik terkait pidana maupun kasus pelanggaran HAM, menjadi tertutup lantaran prosesnya ditangani penyidik dan peradilan di lingkungan militer. "Jika kondisi seperti itu sampai terjadi, bisa dibayangkan kompleksitas hubungan antara Presiden dengan TNI akan semakin rumit dan mempersulit Presiden Yudhoyono sendiri," ujar Ikrar. (sihc/skoc) ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tuangkan ide, saran, masukan, kritik Anda di sini untuk membangun Indonesia yang jaya dan sejahtera. Bebas dan demokratis. Tapi jangan spam dong... Terimakasih